Berikut adalah sedikit contoh tentang makalah Mata Kuliah Hukum Tata Usaha
MENGGAGAS
SISTEM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG RESPOSIF
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Tersetruktur
pada
Mata Kuliah Hukum Tata Usaha
Disusun oleh :
Danang Pujiono 0701030013
PROGAM STUDI
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara hukum.
Ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tersebut merupakan kehendak rakyat (volonte generale) tertinggi bangsa
Indonesia yang dijadikan hukum dasar dalam penyelenggaraan ketatanegaraan
Indonesia. Pilar utama dalam mewujudkan prinsip negara hukum adalah pembentukan
peraturan perundang-undangan dan penataan kelembagaan negara.
Pembentukan peraturan
perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum
nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang
pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan
perundang-undangan.
Ada dua macam strategi pembangunan
hukum yang akhirnya sekaligus berimplikasi pda karakter produk hukumnya yaitu
pembangunan hukum “ortodoks” dan pembangunan hukum “responsif”. Pada strategi
pembangunan hukum ortodoks, peranan lembaga-lembaga negara (pemerintah dan
parlemen) sangat dominan dalam menentukan arah perkembangan hukum sehingga
lebih bersifat positivis-instrumentalis, yaitu menjadi alat yang ampuh bagi
pelaksanaan ideologi dan program negara. Sedangkan dalam strategi pembangunan
hukum responsif, lebih menghasilkan hukum yang bersifat tanggap terhadap
tuntutan-tuntutan berbagai kelompok sosial dan individu dalam masyarakat.
BAB II
ISU MENDASAR
Saat ini Negara Indonesia dihadapkan beberapa isu mendasar terkait sistem pembentukan peraturan perundang-undangan:
Adanya kelemahan-kelemahan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan kehendak politik negara untuk merubahnya;
Minimnya peran DPD sebagai lembaga perwakilan daerah dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD;
Minimnya peran DPD sebagai lembaga perwakilan daerah dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD;
Diundangkannya Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang mengatur
pembahasan undang-undang dan belum terintegrasi dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
Belum adanya mekanisme partisipasi publik yang sejati dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Belum adanya mekanisme partisipasi publik yang sejati dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan isu-isu mendasar
tersebut, maka tulisan ini mencoba mengurai satu persatu sebagai sebuah
pemikiran alternatif penyempurnaan undang-undang tentang pembentukan peraturan
perundang undangan.
BAB III
ANALISIS KELEMAHAN DAN ALTERNATIF
PENYEMPURNAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Dalam membahas UU 10/2004, pertama diuraikan ketentuan yang mengandung kelemahan dan analisis kelemahannya, kemudian diuraikan alternatif penyempurnaannya. Beberapa kelemahan dan alternatif penyempurnaan UU 10/2004 adalah sebagai berikut.
1. Judul/Penamaan
Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU
10/2004, pembentukan Peraturan Perundang-undangan diartikan proses
pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang pada
dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan,
teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan
penyebarluasan. Dalam judul Undang-Undang ini tidak tergambar tentang sumber
hukum dan hirarki peraturan perundang-undangan padahal dalam Pasal 2 dan 7 UU
10/2004 diatur tentang sumber hukum dan hirarki peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian penamaan tersebut tidak tepat karena tidak merepresentasikan materi
muatan yang diatur lebih lanjut dalam batang tubuh.
2. Pasal 1 angka 1
(1)
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses
pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang pada
dasamya dimulai dari perencanaan, persiapan,
teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan
penyebarluasan.
Definisi “pembentukan” peraturan
perundang-undangan meliputi pula “penyebarluasan”. Dalam penjelasan UU 10/2004
Pasal 51 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan
"menyebarluaskan" adalah agar khalayak
ramai mengetahui Peraturan Perundang-undangan tersebut dan
mengerti/memahami isi serta maksud-maksud yang terkandung di dalamnya
Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan tersebut
dilakukan, misalnya, melalui
media elektronik seperti Televisi Republik Indonesia
dan Radio Republik Indonesia atau media cetak. Berdasarkan pengertian
“menyebarluaskan”tersebut tidak terkandung makna “pembentukan” yang di dalamnya
masih dimungkinkan adanya penambahan, perubahan, atau pengurangan atas suatu
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Makna “menyebarluaskan” hanya
bersifat sosialitatif dan tidak mungkin menambah, merubah, atau mengurangi
ketentuan yang disebarluaskan. Disinilah terjadi in konsistensi definisi
“pembentukan”.
Seharusnya penyebarluasan tidak
dimasukkan sebagai bagian dari pembentukan, dengan demikian menjadi proses yang
terpisah antara pembentukan dengan penyebarluasan sebagai proses pasca
pembentukan. Adagium hukum “setiap orang dianggap tahu hukum” sebenarnya sudah
terpenuhi dalam tahap pengundangan. Tahap pengundangan pada hakekatnya
adalah pengumuman peraturan perundang-undangan dalam lembaran resmi agar setiap
orang dianggap telah mengetahui keberlakuan suatu hukum/peraturan
perundang-undangan.
3. Pasal 1 angka 2 sampai dengan 8
(2)
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan
tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat
yang berwenang dan mengikat secara umum.
(3) Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
(4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
(3) Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
(4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
(5) Peraturan
Pemerintah adalah Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden
untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
(6) Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden.
(7) Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah.
(8) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
(6) Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden.
(7) Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah.
(8) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Dalam angka 2 dinyatakan bahwa
peraturan perundang-undangan itu “dibentuk”, namun demikian ketentuan ini tidak
diikuti secara konsisiten oleh angka-angka berikutnya yang mengatur tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan. Hanya Undang-Undang dan
Peraturan Daerah yang digunakan istilah “dibentuk”, Perpu dan PP digunakan
istilah “ditetapkan”, sedangkan Perpres dan Peraturan Desa digunakan istilah
“dibuat”. Hal ini menunjukkan in konsistensi penggunaan istilah dan akhirnya
menimbulkan pemaknaan berikut implikasi hukumnya yang tidak jelas.
Dalam konteks Undang-Undang,
penggunaan istilah “dibentuk” sudah tepat karena sesuai dengan Pasal 20 UUD NRI
1945 ayat (1) yang berbunyi :
Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membentuk undang-undang.
Dalam konteks Perda, penggunaan
istilah “dibentuk”kurang tepat karena berdasarkan Pasal 18 UUD NRI ayat (6)
digunakan istilah “ditetapkan” :
Pemerintahan daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan peraturan lain untuk melaksanakan
otonomi dan tugas pembantuan.
Dalam konteks Perpu, penggunaan
istilah “ditetapkan” sudah tepat karena sesuai dengan Pasal 22 UUD NRI 1945
ayat (1) yang berbunyi :
Dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang.
Dalam konteks PP, penggunaan istilah
“ditetapkan” sudah tepat karena sesuai dengan Pasal 5 UUD NRI 1945 ayat (2)
yang berbunyi :
Presiden menetapkan peraturan
pemerintah untuk menjalankan undangundang sebagaimana mestinya.
Dalam konteks Perpres dan Perdes
yang digunakan istilah “dibuat” tidak ada rujukan konstitusinya mengingat UUD
NRI 1945 tidak secara eksplisit menyebutkan dua bentuk peraturan tersebut.
Namun demikian penggunaan istilah “dibuat”tidak konsisten dengan ketentuan
angka 2 UU 10/2004 yang menggunakan istilah “dibentuk”. Hal ini mengingat
Perpres dan Perdes merupakan peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan
Pasal 7 ayat (1) UU 10/2004.
4. Pasal 2
Pancasila merupakan sumber dari
segala sumber hukum negara.
Penggunaan istilah “sumber hukum
negara” menimbulkan makna yang cenderung menyempitkan fakta pruralisme hukum di
Indonesia antara eksistensi hukum yang tidak tertulis/hukum adat dengan hukum
yang tertulis. Dengan kuatnya paham positivisme hukum dalam penyelenggaraan
negara Republik Indonesia, yang dimaksud hukum negara adalah hukum tertulis
yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat
secara umum. Akibatnya hukum tidak tertulis menjadi terabaikan. Sebagai
perbandingan, dalam Tap MPR No. III/MPR/2000 digunakan rumusan sebagai berikut:
Sumber hukum dasar nasional adalah
Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yan adil dan beradap, Persatuan
Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi
seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
Penggunaan istilah “nasional” yang
berasal dari kata nation atau diterjemahkan bangsa lebih menunjukkan pengertian
yang lebih luwes daripada negara. Dalam pengertian bangsa, eksistensi etnik dan
suku lebih menonjol sebagai dari basis tumbuhnya hukum tidak tertulis.
Rumusan lebih baik apabila hukum
tidak perlu diikuti dengan istilah lainnya sehingga tidak merubah makna hukum
itu sendiri sehingga berbunyi: Pancasila merupakan sumber dari segala
sumber hukum .
5. Pasal 7 ayat (1)
Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c.
Peraturan
Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e.
Peraturan
Daerah.
Dalam jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan
tersebut tidak secara eksplisit mengatur kedudukan Permen, PBI, PMK, dan
lainnya yang sejenis, meskipun di dalam Pasal 7 ayat (4) telah dinyatakan
keberadaan dan kekuatan hukum jenis peraturan diluar yang disebut pada ayat
(1). Permasalahannya adalah syarat “sepajang diperintahkan” seringkali tidak
dipenuhi berdasarkan ketentuan ayat (4) tersebut. Hal ini menimbulkan praktik
pembuatan jenis peraturan diluar ayat (1) sangat banyak. Sementara itu tuntutan
kebutuhan pengaturan pelaksanaan pemerintahan juga tinggi sehingga apabila
diatur dengan PP atau Perpres kurang dapat memadahi kebutuhan regulasi. Dalam
kondisi seperti ini maka lebih baik kedudukan dan kekuatan hukum Permen, PBI,
PMK, dan lainnya yang sejenis dieksplisitkan sebagai jenis dan hirarki
peraturan perundang-undangan di bawah Perpres.
Kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan wewenang dengan
banyaknya peraturan yang dibuat pejabat setingkat menteri sebagaimana terjadi
berdasarkan TAP MPRS No XX/MPRS/1966 dapat diatasi dengan mekanisme judicial
review yang bersifat aktif dari MA. Hal ini sebenarnya merupakan jalan tengah
ketika tidak dimungkinkannya Permen, PBI, dll tanpa perintah peraturan yang
lebih tinggi namun praktiknya tidak dapat “dibendung”sehingga malah
mengakibatkan kebingungan khususnya dikalangan pemerintahan daerah.
6. Pasal 7 ayat (2)
a. Peraturan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
b. Peraturan
Daerah kabupaten/kota dibuat
oleh dewan perwakilan rakyat
daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang
setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala
desa atau nama lainnya.
Dapat dipahami dalam ketentuan tersebut didasari oleh
politik hukum yang menempatkan otonomi provinsi, otonomi kabupaten/kota, dan
otonomi desa tidak dalam posisi sub ordinat. Artinya peraturan yang dibentuk
oleh ketiga institusi tersebut tidak saling membawahi melainkan mengatur rumah
tangga otonominya masing-masing. Dalam konteks Perda Provinsi dan Perda
Kabupaten/Kota selama ini tidak begitu banyak persoalan. Persoalan muncul
antara Peraturan Desa dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Implikasi posisi
ordinat/sejajar antar peraturan tersebut adalah tidak dapat bekerjanya asas
hukum “lex superiori derogat legi inferiori”. Apabila hal ini terjadi maka bisa
jadi kedudukan perdes mengabaikan perda kabupaten/kota padahal secara
adminidtrasi pemerintahan, desa berada di lingkungan pemerintahan
kabupaten/kota. Maka dari itulah lebih baik kedudukan perdes dipisahkan dari
perda. Perdes lebih baik diletakkan ditingkat terakhir dibawah peraturan daerah
kabupaten/kota. Selanjutnya peraturan daerah provinsi dan perda kabupaten/kota
lebih baik juga dipisahkan dengan argumentasi bahwa politik hukum yang
menekankan otonomi ketiga jenis pemerintahan lokal tersebut tidak akan sub
ordinat hanya karena hirarkinya berubah. Dalam praktiknya Perda Kabupaten/Kota
tidak boleh bertentangan dengan Perda Provinsi khususnya yang mengatur tata
ruang. Demikian pula untuk pengaturan yang lain seharusnya tidak ada
pertentangan antar peraturan yang dibuat pemerintahan lokal (provinsi,
kab./kota, dan desa) karena yang diatur/materi muatannya berbeda berdasarkan
kewenangan masing-masing pemerintahan. Justru apabila dibuat secara hirarkhis
maka akan lebih mudah dalam menyelesaikan apabila terjadi konflik keberlakuan.
Dengan demikian diusulkan disini perubahan atas Pasal &
ayat (1) dan (2) adalah sebagai berikut:
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah
sebagai berikut :
a.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c.
Peraturan
Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e.
Peraturan
Menteri/Lembaga Negara;
f.
Peraturan
Daerah Provinsi;
g.
Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota;
h.
Peraturan
Desa atau sejenisnya.
7. BAB III MATERI MUATAN
Dalam materi muatan ini masih belum
diatur materi muatan undang-undang atau peraturan presiden yang terkait dengan
ratifikasi perjanjian internasional. Dengan demikian belum jelas kriteria kapan
suatu perjanjian internasional diratifikasi melalui undang-undang dan kapan
diratifikasi dengan peraturan presiden. Hal ini juga dalam rangka harmonisasi
dengan Undang-Undang Perjanjian Internasional.
Sebaiknya ditambah pasal yang
mengatur materi muatan UU dan Perpres yang digunakan untuk meratifikasi
perjanjian internasional.
8. BAB IV PERENCANAAN UNDANG-UNDANG
Berdasarkan UU 10/2004, ada satu
tahap penting dalam proses legislasi, yaitu proses perencanaan, yang dibuat
dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas, Pasal 15 ayat (1) UU 10/2004).
Namun sekali lagi DPR ‘luput' memperhitung-kan keberadaan DPD dalam proses
perencanaan legislasi.
Dikatakan dalam Pasal 16 ayat (1) UU
10/2004 bahwa penyusunan Prolegnas dikoordinasikan oleh DPR melalui alat
kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi, dalam hal ini Badan
Legislasi. Sementara itu, dalam Pasal 17 ayat (1) UU 10 Tahun 2004 dinyatakan
bahwa rancangan undang-undang, baik yang berasal dari DPR, presiden, maupun DPD
disusun berdasarkan Prolegnas. Pasal ini merupakan ketentuan mengenai tahap
pembentukan undang-undang. Sedangkan dalam tahap perencanaan yang diatur dalam
Pasal 15 dan 16, keterlibatan DPD tidak diatur. Pasal 17 ayat (3) UU 10/2004
selanjutnya menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, DPR atau presiden dapat
mengajukan RUU di luar Prolegnas. Namun peluang penambahan pengusulan RUU ini
tidak diberikan kepada DPD.
DPD harus diberi peran dalam proses
perencanaan serta membuka kemungkinan penambahan RUU dalam masa persiapan
pembentukan undang-undang, agar sesuai dengan ketentuan dalam UUD. Wewenang DPD
untuk mengajukan rancangan undang-undang (yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah) jelas diakui dalam
Pasal 22D ayat (1) UUD dan Pasal 42 ayat (1) UU 22/2003. Apabila DPD tidak
dilibatkan dari awal, maka akan sulit untuk memasukkan rencana yang dibuat DPD
mengenai rancangan undang-undang yang mungkin diusulkannya. Biasanya dalam
praktek hanya diperbolehkan penambahan 10%-15% topik baru dari jumlah daftar
RUU dalam Prolegnas. Alhasil, bisa jadi usulan-usulan RUU dari DPD akan sulit
untuk diterima karena tidak sesuai dengan Prolegnas.
9. BAB V PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Masih belum diaturnya naskah
akademik dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Naskah akademik
ini sangat penting sebagai naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran
yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan objek, atau arah pengaturan
rancangan peraturan perundang-undangan.
Naskah akademik ini dapat dilihat
manfaatnya dari dua aspek.
Dari aspek proses, pembuatan naskah
akademik dapat digunakan untuk lebih banyak mendapatkan pandangan masyarakat,
dengan memaksimalkan peran DPD sebagai lembaga perwakilan yang mempunyai basis
konstituensi yang ‘lebih jelas' dalam hal wilayah, yaitu wilayah provinsi. Hal
ini juga sejalan dengan Pasal 53 UU 10/2004 yang menyatakan hak masyarakat
untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang. Apabila DPD memaksimalkan
unsur partisipasi publik dalam penyusunan naskah akademik dan rancangan
undang-undang, DPD dapat dilihat sebagai lembaga yang mampu menjadi fasilitator
bagi partisipasi masyarakat, yang selama ini didambakan. Anggota DPD dapat
menggunakan kesempatan kunjungan kerja untuk menggali masukan ini. Bukan hanya
melalui seminar atau diskusi publik. Melainkan dengan memperbanyak dialog dan
kunjungan langsung kepada pemangku kepentingan (stakeholders) rancangan
undang-undang dimaksud. Untuk itu semua, dibutuhkan prosedur standar penyusunan
naskah akademik oleh DPD. Sebagai gambaran, untuk dapat memaksimalkan naskah
akademik ini, sejak awal perlu ada analisis pemangku kepentingan: apa masalah
sosial yang dituju oleh rancangan undang-undang dimaksud dan siapa saja yang
terkait dengan masalah tersebut. Yang dimaksud dengan pemangku kepentingan di
sini tidak hanya aparat birokrasi dan universitas. Yang lebih penting lagi
adalah kelompok masyarakat yang akan terkena dampak dari implementasi
undang-undang itu nantinya. Lantas masukan dan kritik yang didapat pun harus
diolah dengan baik, termasuk memberikan respon yang disertai argumentasi
apabila masukan dan kritik yang diberikan dianggap tidak relevan atau tidak
perlu dimasukkan dalam rancangan undang-undang tersebut.
Dari aspek substansi, adanya naskah akademik akan sangat membantu DPD dalam memperjuangkan substansi yang dianggap pokok dan perlu masuk dalam rancangan undang-undang. Naskah akademik juga akan membantu dalam hal pembuatan DIM sebagai alat pembahas dengan DPR. Memang hasilnya nanti akan banyak tergantung pada keputusan yang diambil DPR dan pemerintah sesuai Pasal 20 UUD. Meski begitu, paling tidak DPD akan dapat mempergunakan metode-metode hubungan masyarakat (humas atau public relation) untuk terus mengkomunikasikan diskusi yang terjadi selama pembahasan dengan DPR. Perlu ada transparansi yang baik serta kemampuan humas yang baik. Dengan demikian, perdebatan juga dibawa ke ruang publik. Masyarakat kemudian dapat menilai sendiri seberapa maksimal DPD telah memperjuangkan kepentingan masyarakat dan seberapa responsif DPR terhadap masukan yang diberikan oleh DPD. Dengan asumsi, DPD telah mendapat simpati masyarakat karena proses penyusunan naskah akademik dan rancangan undang-undang yang partisipatif.
Dari aspek substansi, adanya naskah akademik akan sangat membantu DPD dalam memperjuangkan substansi yang dianggap pokok dan perlu masuk dalam rancangan undang-undang. Naskah akademik juga akan membantu dalam hal pembuatan DIM sebagai alat pembahas dengan DPR. Memang hasilnya nanti akan banyak tergantung pada keputusan yang diambil DPR dan pemerintah sesuai Pasal 20 UUD. Meski begitu, paling tidak DPD akan dapat mempergunakan metode-metode hubungan masyarakat (humas atau public relation) untuk terus mengkomunikasikan diskusi yang terjadi selama pembahasan dengan DPR. Perlu ada transparansi yang baik serta kemampuan humas yang baik. Dengan demikian, perdebatan juga dibawa ke ruang publik. Masyarakat kemudian dapat menilai sendiri seberapa maksimal DPD telah memperjuangkan kepentingan masyarakat dan seberapa responsif DPR terhadap masukan yang diberikan oleh DPD. Dengan asumsi, DPD telah mendapat simpati masyarakat karena proses penyusunan naskah akademik dan rancangan undang-undang yang partisipatif.
Dalam perubahan UU 10/2004 ini nanti
perlu adanya pengaturan Naskah Akademik berikut format naskah akademik sebagai
lampiran dari UU.
10. BAB VI PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RUU
Dalam UU 10/2004 masih belum
mengakomodasi peran DPD dalam penyusunan Daftar Inventarisir Masalah (DIM).
Menurut Ginandjar, Wayan S, dan Muspani, dari beberapa kutipan media masa yang
berbeda, kewenangan DPD sebagai lembaga legislatif tidak maksimal karena tidak
dimungkinkan DPD membuat rumusan permasalahan dalam penyusunan Rancangan
Undang-Undang. DPD hanya membahas DIM sehingga tidak bisa memunculkan masalah.
Pada 2010 ini, sesuai dengan
prolegnas hasil pembahasan DPR, DPD, dan Pemerintah, maka DPD akan
memperjuangkan 40 dari 55 RUU atau 73% yang bersesuaian dengan fungsi, tugas,
dan kewenangan DPD dan yang berhubungan dengan kepentingan daerah. Dalam
pembahasan ini DPD akan terlibat hingga Pembahasan Tingkat I sesuai dengan UU
MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Keterlibatan dalam tingkat itu akan membantu penyelesaian
kerja DPR, b u k a n sebaliknya mengecilkan peran DPR. DPR tetap sebagai
pemegang kekuasaan legislasi sebagaimana ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945.
Perlu mekanisme komite gabungan
(joint sitting) dalam pembahasan daftar inventarisasi masalah dari parlemen.
DPD mestinya bisa mengikuti perkembangan pembahasan antara DPR dan pemerintah
dalam setiap tingkat pembicaraan. Dalam pembahasan RUU bersama pemerintah, DPD
juga diminta pertimbangan/konfirmasi pandangan DPD, demikian juga saat laporan
hasil pembicaraan tingkat pertama. DPD mengikuti dan bila perlu menyampaikan
pandangan sebelum masuk ke tanggapan pemerintah.
11. Pasal 44 ayat (3)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai perubahan
terhadap teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan sebagaimara dimaksud
pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Presiden.
Dalam ketentuan tersebut dinyatakan
bahwa mengenai perubahan terhadap
teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan sebagaimara dimaksud
pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Presiden. Hal ini berarti bahwa teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan yang terlampir
dalam UU 10/2004 dapat dirubah dengan Perpres.
Lampiran UU 10/2004 mempunyai
kekuatan yang sama dengan UU sehingga secara asas hukum perubahannya tidak
dapat dilakukan oleh peraturan yang lebih rendah. Ketika dirubah pun, maka
keberlakuannya juga dipertanyakan terkait dengan asas “lex superiori derograt
legi inferiori”. Dengan demikian pada perubahan ke depan atas UU 10/2004
ketentuan ayat (3) ini perlu dihapus.
12. Pasal 46 ayat (1) huruf c
Peraturan
Perandang-undangan yang diundangkan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia,
meliputi:
a.
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti UndangUndang;
b.
Peraturan
Pemerintah;
c.
Peraturan
Presiden mengenai:
1)
perigesahan
perjanjian antara negara Republik Indonesia
dan negara lain atau badan internasional; dan
2)
peryataan
keadaan bahaya.
d. Perataran
Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ketentuan pada huruf c tersebut bertentangan dengan atau tidak konsisten dengan ketentuan dalam Lampiran UU 10/2004 angka 71 huruf b.
b. Jika suatu rincian memerlukan lebih lanjut, rincian itu ditandai dengan angka Arab 1, 2, dan seterusnya.
Ketentuan pada huruf c tersebut bertentangan dengan atau tidak konsisten dengan ketentuan dalam Lampiran UU 10/2004 angka 71 huruf b.
b. Jika suatu rincian memerlukan lebih lanjut, rincian itu ditandai dengan angka Arab 1, 2, dan seterusnya.
Contoh:
Pasal 12
Pasal 12
(1) …..
…..:
a. ….;
a. ….;
b. ….; (dan, atau,
dan/atau)
c. ….:
1. ….;
2. ….; (dan, atau,
dan/atau)
3. ….
Dengan demikian seharusnya tidak menggunakan angka arab
dengan menggunakan tutup kurung (1)) tetapi menggunakan angka arab tanpa tanda
tutup kurung (1).
Peraturan Perandang-undangan
yang diundangkan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia, meliputi:
a.
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti UndangUndang;
b.
Peraturan
Pemerintah;
c.
Peraturan
Presiden mengenai:
1. pengesahan perjanjian
antara negara Republik Indonesia dan negara
lain atau badan internasional; dan
2. peryataan keadaan bahaya.
13. Pasal 54
Teknik penyusunan dan/atau bentuk
Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan
Keputusan Pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat, Keputusan Pimpinan Dewan
Perwakilan Daerah, Keputusan Ketua Mahkamah
Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi,
Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan,Keputusan Gubernur
Bank Indonesia, Keputusan Menteri, keputusan
kepala badan, lembaga, atau komisi yang
setingkat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala
Desa atau yang setingkat harus berpedoman
pada teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang
ini.
Sebagaimana penamaan UU 10/2004, UU
ini mengatur tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Artinya
substansi yang diatur hanya regeling (peraturan) bukan beschikking (keputusan).
Ketentuan Pasal 54 tidak relevan dengan judul dan materi muatan UU 10/2004
karena mengatur tentang teknik penyusunan dan/atau bentuk keputusan. Apalagi
dalam lampiran UU 10/2004 juga tidak diatur tentang bentuk keputusan.
Apabila digunakan penjelasan Pasal
54 ini yang menyatakan :
Ketentuan dalam
Pasal ini menyangkut keputusan di bidang
administrasi di berbagai lembaga yang
ada sebelum Undang-Undang ini
diundangkan dan dikenal dengan keputusan
yang bersifat tidak mengatur.
maka seolah-olah yang dimaksudkan
bukan beschikking, namun apabila dilihat ketentuan Pasal 56 dan Pasal 44 UU
10/2004 seharusnya setelah adanya UU 10 ini tidak ada lagi keputusan yang
bersifat tidak mengatur karena segala keputusan yang bersifat mengatur namanya
diganti dengan Peraturan. Dengan demikian ketentuan Pasal 54 ini perlu dihapus.
BAB IV
ANALISIS PROBLEMATIKA HUKUM
PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DPD RI
A. Kedudukan dan Fungsi DPD
Dari sisi fungsi, tugas, dan
kewenangan, seperti terungkap pada UUD 1945 Pasal 22D, tampak bahwa DPD hanya
menjadi “subordinat” dari DPR. Lemahnya fungsi, tugas, dan kewenangan DPD
membawa akibat pada hubungan DPR dan DPD yang semakin lama terlihat semakin
tidak harmonis. Setelah DPR dituding tidak pernah melibatkan DPD dalam
penyusunan Program Legislasi Nasiona (Prolegnas), pengangkatan anggota Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), dan dalam perubahan Undang-undang No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 12 Tahun
2008, DPD kembali merasa dilemahkan dengan posisinya yang disejajarkan dengan
fraksi, komisi, dan alat kelengkapan DPR dalam penyusunan Prolegnas.
Dalam konstitusi ditentukan bahwa
DPD hanya “dapat” mengajukan RUU, “ikut membahas” RUU dan “dapat” melakukan
pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, dengan catatan bahwa kewenangan
tersebut hanya terbatas pada undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah
(Pasal 22D UUD).
Sebenarnya dalam parlemen sistem dua kamar murni (strong bicameralism) kedua kamar diberi tugas dan wewenang menetapkan undang-undang. Artinya setiap rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh DPR (sebagai Majelis Rendah) harus dibahas lebih lanjut dalam kamar kedua (sebagai Majelis Tinggi). Majelis tinggi ini kemudian memutuskan, menerima seluruhnya atau menolak seluruhnya RUU yang telah disetujui oleh DPR. Dengan demikian, kalau Majelis Rendah mempunyai hak amandemen, Majelis Tinggi tidak mempunyai hak amandemen.
Sebenarnya dalam parlemen sistem dua kamar murni (strong bicameralism) kedua kamar diberi tugas dan wewenang menetapkan undang-undang. Artinya setiap rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh DPR (sebagai Majelis Rendah) harus dibahas lebih lanjut dalam kamar kedua (sebagai Majelis Tinggi). Majelis tinggi ini kemudian memutuskan, menerima seluruhnya atau menolak seluruhnya RUU yang telah disetujui oleh DPR. Dengan demikian, kalau Majelis Rendah mempunyai hak amandemen, Majelis Tinggi tidak mempunyai hak amandemen.
Bila mengacu kepada esensi bikameral
kuat dan efektif, serta mengacu kepada sistem ketatanegaraan, maka peran yang
ideal dari DPD setidaknya ada empat peran, yakni: Pertama, DPD harus semakin
mempertegas posisinya sebagai ’penyambung lidah rakyat’ di daerah. Harus
digarisbawahi bahwa DPD sebagai perwakilan wilayah menjadi penting untuk
ditegaskan bahwa keberadaan DPD tidak hanya sekadar membagi tugas antara dalam
ataupun luar negeri, sebagaimana praktik parlemen di Amerika Serikat, melainkan
juga memperjuangkan aspirasi daerah, khususnya yang terkait dengan kepentingan
daerah di tingkat nasional.
Kedua, DPD berperan sebagai lembaga
penyeimbang dari DPR, agar fungsi check and balances di parlemen dapat
berjalan. Sebagaimana diuraikan di atas, posisi DPR yang terlalu kuat dan
dominan membangun hubungan antara DPR dan eksekutif. Di samping itu, dengan
adanya check and balances, produk yang dihasilkan parlemen akan lebih
komprehensif.
Ketiga, peran DPD untuk membantu
meringankan beban dan tugas yang diemban oleh DPR. Dengan berbagai produk yang
harus dihasilkan, maka dibutuhkan lembaga mitra untuk membahas setiap RUU
ataupun permasalahan yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab dari
parlemen.
Keempat, DPD harus mengambil inisiatif
dalam berbagai hal terkait dengan masalah kebangsaan, baik yang bersifat lokal
maupun nasional. Hal ini harus melekat pada institusi DPD, sebagaimana juga
melekat di DPR. Peran ini menjadi bagian dari pembuktian bahwa DPD adalah salah
satu kamar yang berperan aktif dalam perpolitikan nasional. Bila keempat hal
ini bisa dijalankan, maka problematika kewenangan DPD akan dapat diurai secara
perlahan.
B. Mekanisme Kerja
Kewenangan legislasi DPD dalam hal
'ikut membahas' (Pasal 22D ayat 2 UUD 1945) perlu dimaknai sebagai legislation
sharing procedure, bukan pengambilan kewenangan oleh DPR ataupun menyandera
fungsi legislasi DPD. Sebaiknya pembahasan rancangan undang-undang dilakukan
oleh kedua dewan secara bergantian (navette atau shuttle system), apabila suatu
RUU disetujui oleh suatu kamar, maka akan dibahas oleh kamar lainnya. Apabila
tidak tercapai kesepakatan antara DPR dan DPD untuk menyetujui suatu rancangan
undang-undang, maka dibentuk suatu komite gabungan dari DPR dan DPD. Berbeda
dengan ‘sidang gabungan', komite gabungan hanya merupakan perwakilan dari
masing-masing dewan. Komite ini bertugas mencari jalan keluar dari ketidaksetujuan
di antara kedua dewan.
Setelah tercapai kesepakatan,
masing-masing anggota komite menawarkannya kepada kedua kamar untuk mendapatkan
persetujuan antara DPR dan DPD. Kemudian tahap lebih lanjut adalah persetujuan
yang dilakukan antara Presiden dan DPR. Posisi DPD dalam persetujuan ini hanya
sebagai peserta pasif. Lebih lanjut DPD juga perlu diberikan peran yang lebih
dalam penyebarluasan undang-undang.
C. Kelembagaan
Dirasakan bahwa saat ini masih belum
maksimalnya peran alat-alat kelengkapan dalam proses penyusunan RUU dan
keberlanjutan hasil RUU yang digagas untuk ditindaklanjuti oleh DPR.
DPD sebagai lembaga baru perlu memaksimalkan
pengembangan kapasitas kelembagaannya. Pemanfaatan momen penyusunan naskah
akademik niscaya tidak akan dapat optimal jika tidak ada prosedur dan dukungan
kelembagan yang memadai. DPD sebagai lembaga yang baru di Senayan menjadi suatu
peluang tersendiri. Banyak perhatian, tenaga, pemikiran, dan sumber daya, yang
mungkin dimobilisasi untuk membangun kapasitas DPD. Bahkan, kelemahan
organisasi dan manajamen di DPR, bila memang dapat diidentifikasi, akan menjadi
masukan yang baik bagi pembentukan kapasitas kelembagaan DPD. Hal penting yang
perlu dilihat pertama kali adalah perlunya institusi pendukung berupa perancang
profesional serta tim peneliti. Idealnya, DPD nantinya tidak lagi akan membahas
secara rinci kata-kata, titik-koma, pasal per pasal, untuk setiap rancangan
undang-undang. Perlu ada sekelompok tenaga perancang dan tim peneliti yang
diorganisasikan secara profesional di bawah DPD. Sebagai perbandingan, dengan
mempelajari kelemahannya, adalah staf perancang yang ada di bawah Asisten I Sekretaris
Jenderal DPR dan Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi (P3I) DPR. Memang ada
beberapa kritik terhadap keberadaan staf perancang dan P3I yang belum
dimanfaatkan secara maksimal oleh anggota DPR.
Yang sama pentingnya adalah
pembuatan mekanisme pembahasan yang jelas dan transparan. Walaupun peraturan
perundang-undangan tidak menentukan jangka waktu untuk membahas suatu rancangan
undang-undang, akan baik bila DPD membuat ukuran-ukuran yang jelas dalam
pembahasan rancangan undang-undang. Sebagai sebuah proses politik, tentunya
pembahasan rancangan undang-undang tidak akan dapat dibatasi secara ketat dari
segi waktu. Namun patokan lama pembahasan yang jelas akan membuat akuntabilitas
DPD lebih baik. Tentu saja perpanjangan waktu pembahasan sangat dimungkinkan
demi menghasilkan substansi rancangan undang-undang yang lebih baik. Akan
tetapi untuk dapat mempertanggungjawabkan perlu ada penjelasan kepada publik
mengenai alasannya, sebagai bentuk pertanggungjawaban DPD yang dalam
operasional menggunakan uang publik pembayar pajak.
Secara umum, prosedur yang jelas dan
terukur untuk membahas suatu rancangan undang-undang termasuk naskah
akademiknya untuk diusulkan kepada DPR, prosedur pembahasan dengan DPR, serta
prosedur dalam memberikan pertimbangan kepada DPR, sangat diperlukan bagi DPD.
Suatu preseden yang baik yang telah dilakukan oleh DPD adalah pembuatan
mekanisme yang rinci dan terukur mengenai pedoman pengawasan pelaksanaan
undang-undang tertentu. Wewenang DPD dalam Pasal 46 UU 22/2003 ini diturunkan
menjadi Keputusan DPD No.2/DPD/2005 tentang Pedoman Pengawasan DPD RI Atas
Pelaksanaan Undang-Undang Tertentu. Di dalam keputusan ini dimuat: ruang
lingkup, objek, dan macam pengawasan, asas dan kerangka peraturan
perundang-undangan, mekanisme pengawasan, tindak lanjut hasil pengawasan, norma
pengawasan, serta laporan.
Model sistematisasi wewenang pengawasan ini dapat digunakan untuk membuat prosedur standar dalam (i) pengusulan rancangan undang-undang tertentu; (ii) pembahasan rancangan-undang-undang tertentu; dan (iii) pemberian pertimbangan untuk rancangan undang-undang tertentu.
Model sistematisasi wewenang pengawasan ini dapat digunakan untuk membuat prosedur standar dalam (i) pengusulan rancangan undang-undang tertentu; (ii) pembahasan rancangan-undang-undang tertentu; dan (iii) pemberian pertimbangan untuk rancangan undang-undang tertentu.
Beberapa hal penting yang perlu
dimuat dalam standar prosedur, yang mungkin saja dibuat dalam bentuk Keputusan
DPD sebagaimana untuk mekanisme pengawasan ini, adalah:
1. Prosedur internal penyetujuan suatu
masalah sosial yang akan dibuat menjadi usulan rancangan undang-undang. Hal ini
merupakan aspek kelembagaan yang penting mengingat keberagaman anggota DPD
sendiri. Yang perlu diingat adalah pentingnya menyepakati bukan hanya judul rancangan
undang-undang, tetapi juga topik dan tujuan pengaturannya. Perhatian hanya pada
judul seringkali mengecoh pembahasan substansi.
2. Pembentukan tim yang membahas dan
menyusun naskah akademik dan rancangan undang-undang, yang terdiri dari staf
sekretariat DPD (perancang dan peneliti), serta sekelompok anggota DPD sendiri
yang akan mengawasi kerja tim penyusun. Tim penyusun ini bertugas melakukan
riset, upaya menggali masukan masyarakat, serta menyusun hasil riset dan
masukan menjadi naskah akademis dan rancangan undang-undang.
3. Prosedur internal untuk mengawasi
kerja tim penyusun agar sesuai dengan tujuan yang disepakati bersama.
4. Mekanisme standar penyusunan naskah
akademis dan rancangan undang-undang yang terdiri dari:
a. Identifikasi pemangku kepentingan
rancangan undang-undang dimaksud, baik di tingkat daerah maupun pusat.
b. Pengundangan para pemangku
kepentingan tersebut untuk memberikan masukan tertulis dalam jangka waktu yang
cukup untuk membuat masukan yang berkualitas, misalnya dalam waktu satu bulan.
Sebab, waktu yang terlalu singkat juga tidak akan efektif untuk mendapatkan
masukan yang substansial.
c. Pengundangan para pemangku kepentingan
untuk berdiskusi secara langsung dengan tim penyusun dengan jadwal yang jelas
dan terbuka.
d. Penyebarluasan gagasan pokok
rancangan undang-undang dimaksud kepada seluruh anggota DPD untuk mendapatkan
masukan ketika melakukan kunjungan kerja. Bila mungkin, tim penyusun juga
membuatkan bahan simulasi atau pertanyaan kunci yang akan memudahkan anggota
DPD mengkomunikasikan gagasannya kepada masyarakat luas dan mendapatkan masukan
yang substansial. Pembahasan juga sebaiknya dilakukan dalam bentuk diskusi-diskusi
kecil yang terarah dengan fasilitator diskusi yang mengacu pada keluaran
(output) yang direncanakan, bukan sekadar agenda acara. Pendekatan semacam ini
akan lebih efektif daripada mengadakan seminar biasa dengan satu-dua orang
pembicara dan curah pendapat dari para peserta dalam waktu yang singkat.
e. Tim penyusun mengkoleksi dan memilah
masukan dari masyarakat yang didapat dari para pemangku kepentingan. Untuk
bahan-bahan yang dianggap tidak relevan atau tidak dapat dimasukkan dalam
rancangan undang-undang dimaksud, dibuatkan surat jawaban disertai alasan
penolakannya.
5. Keterbukaan mekanisme pembahasan
(atau pemberian pertimbangan) kepada DPR, yang mencakup:
a. Akses masyarakat terhadap naskah
pengusulan, pembahasan, atau pertimbangan tertulis DPD kepada DPR. Naskah-naskah
ini dapat ditampilkan dalam situs internet DPD maupun media lainnya yang
tersedia, termasuk pada kantor-kantor konstituensi anggota DPD di
provinsi-provinsi.
b. Informasi DPD kepada publik, melalui
konferensi pers atau diskusi, mengenai kemajuan pembahasan dimaksud. Termasuk
dalam upaya ini adalah penyebarluasan kemajuan tersebut melalui kunjungan kerja
anggota.
c. Pemberian Laporan akhir kepada
publik, yang isinya proses pembahasan dengan DPR, termasuk sejauh mana DPR dan
pemerintah merespon pemikiran yang disampaikan DPD. Pemberian laporan akhir ini
dilakukan secara tertulis dan dapat disebarluaskan melalui situs internet,
konferensi pers, serta dalam dialog-dialog ataupun diskusi yang dilaksanakan
selama kunjungan kerja.
Tentunya masih banyak langkah lainnya yang dapat digali
untuk menguatkan institusi dan prosedur internal DPD ini. Yang terpenting, kata
kunci yang mestinya dijadikan acuan dalam mengembangkan dua hal ini adalah
‘menguatkan legitimasi DPD sebagai lembaga perwakilan'. Kata kunci ini lantas
perlu diturunkan ke prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, dan
akuntabilitas politik. Harapannya, dengan adanya penguatan-penguatan ini,
keberadaan DPD akan semakin didukung oleh masyarakat dan pada gilirannya bisa
menguatkan dukungan untuk pembentukan bikameral yang efektif.
BAB VII
PENUTUP
Sebagai negara yang mendasarkan pada
Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, segala aspek kehidupan
dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan
harus senantiasa berdasarkan atas hukum. Tertib pembentukan peraturan
perundang-undangan harus dirintis sejak saat perencanaan sampai dengan
pengundang-undangannya. Untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik
diperlukan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas, tata cara
penyiapan dan pembahasan, teknik penyusunan maupun pemberlakuannya serta
karakter produk hukum yang responsif.
DAFTAR PUSTAKA
Bivitri
Susanti, Bukan Sekadar Lembaga Pemberi Pertimbangan: Peran Dewan Perwakilan
Daerah dalam Proses Legislasi, www. Parlemen.net
Elvan
Dany Sutrisno, Ginandjar: Fungsi Legislasi DPD Kurang Tegas, detikNews
Janpatar Simamora, Problematika Fungsi Legislasi DPD September 8, 2009, Harian Analisa Medan.
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998
Janpatar Simamora, Problematika Fungsi Legislasi DPD September 8, 2009, Harian Analisa Medan.
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998
Rahmat
Sahid, DPD Dorong Pengembangan Ekonomi Daerah, Monday, 04 January 2010, www.google.com
Robert Endi Jaweng, Pembuktian Kinerja DPD Baru, Harian Jurnal Nasional, Friday, 16 October 2009
Sultan Bachtiar Nadjamuddin, Resolusi Konflik Laten DPR-DPD, Selasa, 15 September 2009 00:01 WIB, www.google.com
Robert Endi Jaweng, Pembuktian Kinerja DPD Baru, Harian Jurnal Nasional, Friday, 16 October 2009
Sultan Bachtiar Nadjamuddin, Resolusi Konflik Laten DPR-DPD, Selasa, 15 September 2009 00:01 WIB, www.google.com
Kedaulatan
Rakyat, Untuk Menata Ulang Fungsi Legislasi; MPR Perlu Segera Lakukan Amandemen
Kelima 04/05/2008 05:28:40, Yogyakarta
Saldi
Isra, Jalan Sunyi DPD, Friday, 18 July 2008, http://www.bentara-online.com/main/ Powered by Joomla! Generated: 7
January, 2010, 06:16
zam/ant,
DPD Jangan Ragu Ajukan Uji Materil, www.google.com
Maya
Puspita Sari, DPD 'Dikunci' DPR, Selasa, 11 Agustus 2009 23:38 WIB, Media
Indonesia
Wilmar P, UJI MATERIIL : Tim Khusus DPD Siapkan Bahan, Senin, 22 Januari 2007, Suara Karya
Wilmar P, UJI MATERIIL : Tim Khusus DPD Siapkan Bahan, Senin, 22 Januari 2007, Suara Karya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar